Authentication
247x Tipe PDF Ukuran file 0.10 MB Source: 2010
Siaran Pers Laporan DNPI - Arah Green Growth Indonesia Jakarta (6 September 2010) – Hari ini Dewan Nasional Perubahan Iklim mengumumkan beberapa hasil penelitiannya yang menunjukkan bagaimana Indonesia dapat terus membangun perekonomiannya dan mencapai target pengurangan gas rumah kaca (GRK). Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi GRK sebesar 26% dari kondisi business as usual pada tahun 2020. “Kita membutuhkan kajian komprehensif tentang emisi GRK di Indonesia. Pemerintah Indonesia tahun lalu menetapkan target yang jelas untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan dan pengurangan emisi GRK, dan sekarang sudah dimiliki gambaran bagaimana mengintegrasikan pembangunan ekonomi yang kuat dengan mengurangi emisi,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar. Kajian DNPI telah dikembangkan selama 18 bulan dan melibatkan lebih dari 150 peserta dari instansi pemerintah, swasta dan LSM dalam pertemuan dan lokakarya sektoral. Penelitian ini menunjukkan beragam aksi pengurangan emisi yang mungkin dilakukan Indonesia baik dengan teknologi yang ada saat ini maupun yang akan dikembangkan di masa depan. Penelitian, yang menganalisis emisi gas rumah kaca (GRK) saat ini dan potensi pengurangannya di delapan sektor, mengestimasikan emisi GRK di Indonesia pada tahun 2005 yang mencapai 2,1 Giga ton (Gt). Sejalan dengan berlangsungnya pembangunan ekonomi di Indonesia, emisi GRK secara total diperkirakan meningkat hingga 3,2 Gt pada tahun 2030 tanpa adanya perubahan dalam hal bagaimana emisi dari kedelapan sektor tersebut dikelola. Kedelapan sektor yang diteliti adalah gambut, kehutanan, pertanian, energi, transportasi, minyak dan gas, semen dan bangunan. 1 Lahan gambut dan kehutanan merupakan kontributor emisi GRK terbesar di Indonesia. Emisi dari lahan gambut yang kaya karbon memberikan sumbangan 41% dari total emisi Indonesia (pada 2005) sementara sektor kehutanan berkisar 37% dari total emisi. Inisiatif utama untuk mengurangi emisi dari sektor-sektor ini adalah dengan memperlambat deforestasi dan dekomposisi lahan gambut, pengelolaan hutan yang lebih baik, pengurangan pembebasan lahan melalui pembakaran, dan pemanfaatan lahan yang terdegradasi untuk pertanian. “Sekarang sudah diketahui dimana kita bisa membuat pengurangan emisi gas GRK terbesar dan berapa biayanya, sehingga kita tidak lagi membahas hal ini secara abstrak. Salah satu capaian paling penting dari penelitian ini adalah mengklarifikasi dan mengkuantifikasi pentingnya tata guna lahan, dan alih guna lahan dalam peta emisi Indonesia saat ini. Ini merupakan hal yang tidak kita ketahui sebelumnya,” kata Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Indonesia memberikan kontribusi lebih kurang 5 persen dari total emisi GRK global. Penelitian DNPI menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi mengurangi emisi GRKnya sampai 2,3 Gt pada 2030, atau setara dengan pengurangan 46% dari kondisi pada tahun 2005. Jumlah pengurangan emisi itu setara dengan 7% dari total pengurangan emisi GRK secara global yang diperlukan untuk mencegah pemanasan suhu global sebesar lebih dari 2 derajat celsius, sesuai Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) di PBB. Ada banyak peluang untuk mengurangi emisi lebih lanjut, tetapi pengurangan emisi yang sedemikian signifikan memerlukan investasi besar dan oleh karena itu memerlukan dukungan internasional sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan common but differentiated responsibilities . Sementara beberapa negara telah membuat komitmen substansial, masih dijumpai banyak perbedaan di komunitas internasional dalam mendukung prinsip-prinsip ini. Strategi Green Growth Bersamaan dengan pengembangan penelitian tentang mitigasi GRK, DNPI juga bekerja sama dengan sejumlah pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengembangkan strategi green growth . Tiga provinsi, masing-masing Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, menjalin kerjasama dengan DNPI untuk mengidentifikasi peluang-peluang green growth guna mendorong kegiatan ekonomi serta mengurangi emisi karbon. 2 “Di negara berkembang seperti Indonesia masyarakat tidak akan memilih untuk mengurangi emisi GRK jika hal itu berarti memperlambat pertumbuhan ekonomi. Strategi kami tidak memerlukan pilihan itu. Kami menemukan bahwa pembangunan ekonomi dan pengurangan GRK dapat saling mendukung. Alur pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan membutuhkan perubahan paradigma, namun dalam jangka panjang hal itu akan meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia,” kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI. Profil emisi GRK Indonesia unik karena didominasi oleh emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut dan pemanfaatan lahan yang lebih efisien dapat meningkatkan manfaat ekonomi sekaligus mengurangi emisi GRK. Menghentikan pembakaran sebagai cara membersihkan lahan, meningkatkan praktek penebangan sehingga mengurangi kayu gelondongan yang terbuang, reforestasi lahan terdegradasi dengan praktek-praktek penebangan yang tidak berkelanjutan, rehabilitasi lahan gambut yang sudah dibuka adalah beberapa contoh inisiatif utama mitigasi GRK dalam strategi green growth. Strategi ini menganut prinsip bahwa manfaat ekonomi jangka panjang jauh melampaui manfaat yang diperoleh dari aktivitas yang menghasilkan emisi GRK yang tinggi dan tidak berkelanjutan. Misalnya, Kalimantan Timur dapat meningkatkan pertumbuhan GDP dari kondisi business as usual sebesar 3% menjadi 5% per tahun tanpa meningkatkan emisi dengan berpindah ke aktivitas bernilai tambah lebih tinggi dan mempromosikan sektor-sektor dengan emisi karbon yang lebih rendah. “Di area bekas proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (ex Mega Rice Project), kami telah membuat kemajuan signifikan dalam mengurangi emisi dengan meninggikan permukaan air dan mencegah kebakaran. Inisiatif seperti ini telah mengurangi emisi GRK secara signifikan untuk beberapa tahun mendatang,” kata Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang. Indonesia merupakan satu-satunya negara besar berkembang yang berkomitmen mengurangi emisi GRK. Untuk dapat mewujudkan perannya yang sangat vital dalam memerangi perubahan iklim global, komunitas internasional telah memberikan dukungan pada Indonesia. Langkah penting pertama yang dilaksanakan pada bulan Mei 2010 adalah dibentuknya Kemitraan REDD+ antara Indonesia dan Norwegia, dimana Norwegia menawarkan bantuan senilai 1 milyar Dolar AS untuk program-program pendukung REDD+ sebagai respon atas pengurangan emisi karbon yang terverifikasi. Kemitraan ini akan menyalurkan modal tambahan untuk berbagai jenis investasi, termasuk program-program pembiayaan mikro untuk proyek-proyek pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat lokal, 3 pinjaman murah untuk para petani plasma agar dapat meningkatkan hasil pertaniannya, dan insentif bagi petani kelapa sawit untuk menggunakan lahan terdegradasi untuk perkebunan baru. “Mengurangi emisi GRK merupakan usaha kompleks dan pendanaan perlu disalurkan ke bidang-bidang yang menghasilkan menfaat terbesar. Strategi green growth didasarkan pada prinsip ini dan merekomendasikan langkah-langkah praktis yang siap untuk dilaksanakan. Strategi ini merepresentasikan peta jalan pembangunan baru yang merekonsialisasikan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi GRK secara signifikan,” kata Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI. Langkah-langkah ini memposisikan Indonesia dengan baik untuk memanfaatkan komitmen negara maju sebesar 30 milyar dolar AS untuk fast-start funds yang disampaikan pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP-15) di Kopenhagen pada bulan Desember 2009 dan akan mempercepat investasi untuk pembangunan hijau di Indonesia. Sekilas Tentang DNPI Pada bulan Juli 2008, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres No. 46/2008, untuk pendirian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi Agus Purnomo di agus.purnomo@dnpi.go.id / 0811999462 atau Amanda Katili amanda.katili@dnpi.go.id / 0811972143. 4
no reviews yet
Please Login to review.